KH MUHADJIR SULTHON

Menggantung Kebahagiaan pada Al-Qur’an

KH Muhadjir Sulthon, dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, ini memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan metode membaca Al-Qur’an yang efektif dan efisien. Setelah mempelajari berbagai metode membaca Al-Qur’an yang berkembang sejak beberapa abad lalu hingga metode paling mutakhir, Muhadjir akhirnya menemukan metode yang paling efektif.

Beliau mempelajari metode Baghdadi, yang ditemukan sekitar 1.400 tahun lalu di ibu kota Iraq. Metode tersebut digunakan secara tradisional, juga di Indonesia, bahkan hingga kini. Metode paling mutakhir adalah metode Iqra’. Meskipun yang terakhir ini dipandang banyak orang sebagai metode yang sangat efektif, beliau masih terobsesi oleh metode baru yang jauh lebih efektif lagi.

Tetapi yang lebih kuat mendorongnya mencari metode baru adalah banyaknya keluhan masyarakat tentang sulitnya belajar membaca Al-Qur’an. Ayah delapan anak, buah perkawinannya dengan Muawanah pada 1971, ini kemudian mencari akar persoalannya. Menurutnya, ada dua faktor. Pertama, metode yang dipakai selama ini ternyata tidak efektif. Kedua, masyarakat agaknya begitu fanatik dengan metode yang ada—yang ternyata tidak efektif itu—sehingga sulit menerima metode baru. Padahal, pria berjenggot ini yakin, “Belajar Al-Qur’an itu mudah dan cukup dengan waktu yang relatif singkat.”

Sejak 1965 beliau mencoba menyusun metode baru, dan mempraktekkannya kepada murid-muridnya di SD Islam At-Tarbiyah, Surabaya. Dia juga mempraktekkannya di rumah. Sambil terus menyempurnakan metode yang tengah dirintisnya ini, usaha beliau agaknya membuahkan hasil. Anak-anak yang belajar membaca Al-Qur’an dengan metode yang disusunnya relatif cepat mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, lebih cepat dibanding anak-anak yang menggunakan metode lain.

Sambutan pun mengalir dari berbagai kalangan. Betapa tidak. Anak-anak mampu membaca Al-Qur’an hanya dalam tempo delapan jam. Ya, delapan jam. Sementara metode Baghdadi yang digunakan secara tradisional, baru bisa mengantarkan anak membaca Al-Qur’an dalam tempo berbulan-bulan. Itulah yang membuat beliau sangat optimistis dengan metode temuannya.

Metode Kilat. Begitu yakin dengan metode baru itu, Beliau kemudian membukukannya dalam Cara Cepat Mempelajari Bacaan Al-Qur’an di tahun 1978. Metode itu sendiri diberinya nama ALBARQY. ALBARQY —dari bahasa Arab — berarti kilat. Tentu nama metode tersebut terasa bombastis : belajar membaca Al-Qur’an secepat kilat. Namun, ada begitu banyak harapan di balik nama yang bombastis itu.

Metode ALBARQY terasa lebih dekat dengan bahasa anak-anak. “Saya berusaha menyesuaikan ucapan yang biasa dilafalkan anak-anak di sini,” ujar anak pertama dari tujuh bersaudara ini menjelaskan. Yaitu, a-da-ra-ja, ma-ha-ka-ya, ka-ta-wa-na, sa-ma-la-ba. Jadi, sebisa mungkin diusahakan anak-anak tidak asing dengan bacaan yang tengah mereka pelajari.

“Metode ALBARQY merupakan perpaduan antara metode ho-no-co-ro-ko (Jawa) dan metode Arab,” jelas beliau. Tetapi, agar lebih efektif, metode ho-no-co-ro-ko yang terdiri dari 5 suku kata itu dipadatkan menjadi 4 suku kata saja. Itu, tambah beliau, “Saya harapkan bisa mempermudah cara belajar yang menggunakan metode ALBARQY.”

Pria yang pernah mengenyam pendidikan di PGA Malang dan IKIP Surabaya ini juga berpikir agar metode ALBARQY bisa digunakan baik oleh anak-anak maupun oleh orang dewasa, secara individual atau klasikal. Khusus untuk anak-anak, beliau melengkapinya dengan teknik bermain. Sebab, “Dunia anak-anak identik dengan permainan,” ujar pria yang juga dikenal sebagai da’i itu. “Guru juga dilarang membebani anak dengan pelajaran (membaca Al-Qur’an).”

Usaha tersebut cukup berhasil. Dalam uji-coba di TPA Mesjid Baitus Salam, Desa Gurah, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, 80% anak (dari 150 santri) bisa membaca Al-Qur’an dalam waktu 6 bulan dari 3 kali pertemuan setiap seminggu. Pengalaman di TK ABA 45 Surabaya lebih menakjubkan lagi. Sebagian besar anak di situ bisa membaca Al-Qur’an hanya dalam tempo kurang dari 6 bulan, dengan masa belajar 3 kali per minggu masing-masing pertemuan selama 30 menit.

Tak heran kalau metode ALBARQY dinilai sangat efektif. Penelitian Puslitbang Pendidikan Agama, bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum Negeri Ditjen Binbaga Agama Islam Depag tahun 1992/1993, misalnya, menyimpulkan, metode ALBARQY lebih cepat dibanding metode yang lain.

Pria kelahiran Lamongan, 1 Februari 1942, ini benar-benar mengabdikan diri untuk pengembangan pendidikan Al-Qur’an. Di sela-sela kesibukannya sebagai aktivis DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) Jawa Timur dan anggota Dewan Penasihat ICMI Orwil Jawa Timur, Muhadjir masih sempat mendirikan Yayasan LEPA (Lembaga Pendidikan Al-Qur’an) ALBARQY di tahun 1994.

Dari beberapa prestasi yang diraihnya, anak pasangan H Sulthon dan Hj Musyarafah ini telah menerima 3 penghargaan. Pertama, dari Menteri Agama, dalam hal tilawatil Qur’an (1992). Kedua, dari Presiden Soeharto, berupa Satya Lencana Karya Satya (1995). Ketiga, dari Mitra Karya Bhakti Pertiwi, berupa The Best Award (1996). Dan pada 1994/ 1995, metode ALBARQY dinyatakan sebagai metode mengajar membaca Al-Qur’an paling efektif untuk SD.

Kini, hari-hari beliau terus diisi dengan berbagai kesibukan untuk mengembangkan metode temuannya. Dia bahkan terobsesi untuk menebarkannya ke seluruh dunia. Maklum, “Saya menjadikan hidup ini tidak lepas dari as-sa’adatul mu’allaqatu bil Qur’an (kebahagiaan yang digantungkan pada Al-Qur’an),” tandas Sarjana Sastra Arab dari Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel ini.

GO INTERNATIONAL , IMPIAN BELIAU

Drs KH Muhadjir Sulthon agaknya bukan tipe orang yang gampang puas. Meski metode ALBARQY temuannya mendapat sambutan dari berbagai kalangan, toh beliau terus berusaha menyempurnakannya. Tak heran kalau buku tentang metode belajar membaca Al-Qur’an yang efektif itu, yang pertama kali diterbitkan pada 1978, mengalami revisi beberapa kali. Dan memang tampak ada kemajuan.

Buku edisi pertama, Cara Cepat Mempelajari Bacaan Al-Qur’an , segera disempurnakan dalam buku kedua, Metode ALBARQY Sistem 8 Jam . Terus berusaha mencari metode yang lebih efektif, Muhadjir kemudian menyempurnakannya lagi dalam edisi ketiga, At-Thariqatul Barqiyyah Sistem 6 Jam.

Buku ini pun disempurnakan dengan buku berikutnya, ALBARQY Sistem Otodidak . Seperti tampak pada judulnya, buku tersebut memberikan bimbingan kepada orang yang mau belajar sendiri membaca Al-Qur’an. Untuk itu, ia dilengkapi dengan kaset penuntun sebagai tutor. Kemudian, terbit pula buku Jalan Pintas Sistem 200 Menit. Dan kini, Muhadjir tengah mempersiapkan buku baru yang amat menarik, Sistem 200 Menit untuk Semua Bangsa/ Internasional.

“Buku terakhir ini,” kata anggota Dewan Penasihat ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indoensia) Orwil Jawa Timur ini, “insya Allah akan diluncurkan pada awal tahun ajaran baru 1997/1998.” Sebagai panduan untuk konsumen internasional, buku tersebut tentu saja harus disajikan dengan teknologi modern. Untuk itu, “Ia akan dilengkapi dengan gambar-gambar menarik dalam CD-Rom,” tambah Muhadjir.

CD-Rom itu berdurasi 200 menit dan dengan mengikuti sajian CD-Rom tersebut, “Diharapkan, pemirsanya sudah bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar,” tandas ayah delapan anak itu, tanpa menyembunyikan impiannya yang menggunung.

Beliau tertantang untuk mengembangkan metode ALBARQY di dunia internasional. Ini berawal dari pengalamannya mengajar dua anak asing yang berkunjung ke Pondok Pesantren Srikaton, Kediri, Jawa Timur. Namanya Marco dan Megy, siswa kelas IV dan kelas II SD. Dua anak kakak-beradik asal Jerman itu hanya membutuhkan waktu sekitar 3 sampai 4 jam untuk bisa membaca Al-Qur’an.

Kemudian, Mr David Naisbith, pria asal Inggris yang mengajar di Institut Minerva dan beberapa lembaga kursus bahasa Inggris terkemuka di Surabaya, hanya membutuhkan waktu 2,5 jam untuk dapat membaca Al-Qur’an. Tentu saja, bule yang baru masuk Islam itu amat bahagia. “Inilah yang mendorong saya membawa metode ALBARQY go Internasional,” ujar beliau dengan yakin.

Meski buku untuk konsumen internasional belum juga diluncurkan, toh metode Al-Barqy sudah digunakan di luar negeri. Sejak 1996, misalnya, negara tetangga Malaysia sudah menggunakannya. Dan Muhadjir tentu amat bahagia. Impian pria yang sederhana ini agaknya tak hanya tersimpan di dalam CD-Rom. Ia mengejawantah. Mungkin di mana-mana, di suatu hari nanti.